PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan permulaan untuk meraih sesuatu yang berguna dengan ketentuan bahwa apa yang telah diberikan pasti diajarkan secara moral dan dapat dipertanggungjawabkan. Pendidikan bukan hanya pengajaran, tetapi juga merupakan semacam pembaharuan. Pendidikan menentukan kriteria yang akan menjadi acuan semua kegiatan atau proses di masa berikutnya sebagai suatu prestasi. Semua pendidikan formal mempunyai atau mendukung tujuan kegiatan diri secara sadar dan nyata yang berlangsung di dalam berbagai lembaga pendidikan. Belajar dari pihak murid, adalah proses psikologis dan moral yang melibatkan cara berpikir, berkehendak, berlatih, dan hal-hal produktif lainnya. Puncak semua pendidikan, yang ditanami ketulusan hati, adalah membekali murid kemandirian moral yang berarti memiliki undang-undang diri yang universal, bersifat pribadi, dan juga mampu menetapkan diri.
Oleh karena itu, kita perlu mempelajari beberapa ilmu pengetahuan dengan melihat beberapa konsep pendidikan para tokoh-tokoh pendidikan salah satunya adalah al-Ghozali yang akan kita bahas pada makalah ini. Tentunya dalam makalah yang kami buat, masih banyak kekurangan karena manusia tak ada yang sempurna (No Body Perfect ). Kami mohon kritik dan saran yang membangun.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana pemikiran pendidikan menurut Al-Ghazali?
- Bagaimana pandangan Al-Ghazali tentang ganjaran dan hukuman?
- Bagaimana kurikulum pendidikan anak menurut Al-Ghazali?
- Bagaimana relevansi pendidikan islam menurut Al-Ghazali dengan pendidikan islam sekarang ini?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pemikiran pendidikan Al-Ghazali.
2. Untuk mengetahui pandangan Al-Ghazali tentang ganjaran dan hukuman.
3. Untuk mengetahui kurikulum pendidikan anak menurut Al-Ghazali.
4. Untuk mengetahui relevansi pendidikan islam menurut Al-Ghazali dengan pendidikan islam sekarang ini.
BAB II
PEMBAHASAN
AL-GHOZALI
A. Biografi Al-Ghozali
Nama lengkapnya al-Ghozali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghozali. Ia lahir di Ghazaleh, sebuah kota kecil di Thus, wilayah Khurasan tahun 450 H (1059) dan wafat di Tabristan sebuah wilayah di Provinsi Tus tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H/ 1 Desember 1111 M.[1]
Sepeninggal ayahnya al-Ghozali dipelihara oleh seorang sufi bersama dengan saudaranya. Namun tidak lama kemudian al-Ghozali diserahkan ke sebuah Madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi murid-muridnya. Guru al-Ghozali yang utama di Madarasah ini adalah Yusuf al-Massaj. Pada usia muda al-Ghozali sudah mempelajari fiqih di Thus dan kemudian melanjutkan studinya di Jurjan dibawah bimbingan Abu Nasr al-Isma’ili, kemudian pergi ke Naisabur.[2]
Di Naisabur Imam al-Juaini (Imam al-Haramain) menjadi guru al-Ghozali, melihat kemampuan dan kecerdasan al-Ghozali, Juaini memberi gelar “Bahrun Mughriq “ (laut yang menenggekamkan). Di bawah bimbingan al- Juaini, al-Ghozali menekuni ilmu fiqh, ushul fiqh, mantiq dan ilmu kalam hingga al-Juaini wafat tahun 478 H/1085 M.
Setelah al-Juaini wafat, al-Ghozali pindah kebaghdad. Beliau berkali-kali menghadiri majelis perdana menteri, sehingga mendapat perhatian dari Nidzam al-Mulki. Akhirnya beliau diangkat menjadi guru di Universitas Nidzamiyah Baghdad usia 34 tahun (484 H).
Namun, saat karirnya sedang menonjol, al-Ghozali mengalami kegelisahan intelektual karena merasa gagal dalam memberi dalam memberi pengalaman religius serta meragukan terhadap kebenaran yang dicapai oleh akal dan panca indera. Akhirnya al-Ghozali mengundurkan diri dari al- Nidzamiyah dan berkelana menuju Syiria.[3]
Buku-buku Ilmu pengetahuan karangan al-Ghozali antara lain: al-Basith, al-Wajiz, Khulashah ilmu fiqih, al-Munaqil fi ilm al-Jadal, Ma’khaz, al-Kalaf, Lubab al-Nadzar, Tahsin al-Ma’akhid dan Mamadi wa al-Ghayat fi fan al-Khalaf. Sedangkan pemikiran al-Ghozali dalam tiga buku karangannya yaitu Fatihat al-kitab, Ayyuha al-walad dan Ihya ulum al-din.[4]
B. Pemikiran Pendidikan Al-Ghazali
1. Peranan Pendidikan
Al-Ghazali termasuk ke dalam kelompok sufistik yang banyak menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan, karena pendidikanlah yang banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya. Demikian hasil pengamatan Ahmad Fuad al-Ahwani terhadap pemikiran pendidikan al-Ghazali.
Sementara itu H.M Arifin, guru besar dalam pendidikan mengatakan, bila dipandang dari segi filosofis, al-Ghazali adalah penganut faham idealisme yang konsekuen terhadap agama sebagai dasar pandangannya. Dalam masalah pendidikan al-Ghazali lebih cenderung berpaham empirisme. Hal ini antara lain disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya seorang anak tergantung kepada orang tua dan anaknya yang mendidiknya. Hati seorang anak itu bersih, murni, laksana permata yang sangat amat berharga, sederhana dan bersih dari gambaran apapun. Hal ini sejalan dengan pesan Rasulullah SAW. Yang menegaskan:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَتِ فَـأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَا نِهِ
Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan besih, kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi penganut Yahudi, Nasrani atau Majusi (H.R Muslim)
Sejalan dengan hadits tersebut, al-Ghazali mengatakan jika anak menerima ajaran dan kebiasaan hidup yang baik, maka anak itu menjadi baik. Sebaliknya jika anak itu dibiasakan melakukan perbuatan buruk dan dibiasakan kepada hal-hal yang jahat, maka anak itu akan berakhlak jelek. Pentingnya pendidikan ini didasarkan pada pengalaman hidup al-Ghazali sendiri, yaitu sebagai orang yang tumbuh menjadi ulama besar yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan, yang disebabkan karena pendidikan.[5]
2. Tujuan Pendidikan
Al-Ghozali menekankan tugas pendidikan adalah mengarah pada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak dimana fadhilah (keutamaan) dan taqqarrub kepada Allah merupakan tujuan yang paling penting dalam pendidikan. al-Ghozali mengatakan: “ Wajiblah bagi ilmu yaitu taqarrub kepada Allah bukannya mengarah kepada pimpinan dan kemegahan “. al-Ghozali sangat memperhatikan tujuan keagamaan karena pada waktu kerusakan akhlak orang banyak telah merajalela (yang ditimbulkan oleh gerakan yang merusak) agama seperti gerakan yng dipimpin oleh al-Hasan bin shabah. Menurut pandangan beliau, Ilmu itu secara intrinsik mempunyai tujuan yaitu memberikan kebahagiaan dunia dan akhirat.[6]
Dari kata-kata al-Ghozali, tujuan pendidikan dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Tujuan Jangka Panjang
Tujuan pendidikan jangka panjang adalah pendekatan diri kepada Allah. Pendidikan dalam prosesnya harus mengarahkan manusia menuju pengenalan dan kemudian pendekatan diri kepadaTuhan pencipta alam.
Manusia dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ibadah wajib dan ibadah sunnah. Selain itu, manusia harus senantiasa mengkaji ilmu-ilmu fardhu ‘ain.
b. Tujuan jangka pendek
Tujuan jangka pendek adalah diraihnya profesi manusia dengan bakat dan kemampuannya. Syarat untuk mencapai tujuan itu, manusia mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan baik fadhu ‘ain atau fardhu kifayah.[7]
3. Pendidik
Sejalan dengan pentingnya pendidikan mencapai tujuan sebagaimana disebutkan al-Ghazali juga menjelaskan tentang ciri-ciri pendidik yang boleh melaksanakan pendidikan. Ciri-ciri tersebut adalah:
a. Guru harus mencintai muridnya seperti mencintai anak kandingnya sendiri.
b. Guru jangan mengharapkan materi (upah) sebagai tujuan utama dari pekerjaannya (mengaar), karena mengajar adalah tugas yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW. Sedangkan upahnya adalah terletak pada terbentuknya anak didik yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
c. Guru harus mengingatkan muridnya agar tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untuk kebanggaan diri atau mencari keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah.
d. Guru harus mendorong muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang membawa kebahagiaan dunia dan akhirat.
e. Di hadapan muridnya, guru harus memberi contoh yang baik, seperti berjiwa halus, sopan, lapang dada, murah hati dan berakhlak terpuji lainnya.
f. Guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat intelektual dan daya tangkap anak-anak didiknya.
g. Guru harus mengamalkan yang diajarkannya, karena ia menjadi iola di mata anak muridnya.
h. Guru harus memahami minat, bakat dan jiwa anak didiknya, sehingga disamping tidak akan salah dalam mendidik, juga akan terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru dan anak didiknya.
i. Guru harus dapat menanamkan keimanan ke dalam pribadi anak didiknya, sehingga akal pikiran anak didik tersebut akan dijiwai oleh keimanan itu.
4. Murid
Sejalan dengan prinsip bahwa menuntut ilmu pengetahuan itu sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah maka bagi murid dikehendaki hal-hal sebagai berikut:
a. Memuliakan guru dan bersikap rendah hati atau tidak takabur.
b. Merasa satu bangunan dengan murid lainnya sehingga merupakan satu bangunan yang salng menyayangi dan menolong serta berkasih sayang.
c. Menjauhkan diri dari mempelajari berbagai mazhab yang dapat menimbulkan kekacauan dalam pikiran.
d. Mempelajari tidak hanya satu jenis ilmu yang bermanfaat saja, melainkan mempelajari berbagai ilmu dan dan berupaya sungguh-sungguh sehingga mencapai tujuan dari tiap ilmu tersebut.[8]
5. Materi pendidikan menurut Al-Ghozali
Menurut pandangan al-Ghozali, Ilmu sebagai obyek dapat dibagi menjadi tiga kelompok :
a. Ilmu pengetahuan yang tercela seperti sihir, azimat, nujum dan ilmu tentang ramalan nasib.
b. Ilmu pengetahuan yang terpuji seperti Ilmu agama dan Ilmu tentang beribadat.
c. Ilmu pengetahuan terpuji dalam kadar tertentu sepeti cabang ilmu filsafat.
Sedangkan berdasarkan nilai manfaat, Ilmu pengetahuan dibagi menjadi :
1) Ilmu termasuk fardhu ‘ain dan wajib dipelajari setiap individu seperti Ilmu agama dan cabang-cabangnya.
2) Ilmu pengetahuan termasuk fardhu kifayah , Ilmu pengetahuan tidak diwajibkan kepada setiap muslim tetapi harus ada diantara orang muslim yang mempelajarinya, seperti Ilmu kedokteran, politik, pertanian.
Selanjutnya al-Ghozali memperinci pembagian ilmu pengetahuan berdasarkan pembidangan (spesialisasi) menjadi dua bidang yaitu :
a) Ilmu syariat sebagai Ilmu yang terpuji terdiri atas :
· Ilmu Ushul (Ilmu pokok) : Ilmu Al-Qur’an, sunah Nabi, pendapat-pendapat sahabat dan ijma’.
· Ilmu furu’ (cabang) : fiqh, Ilmu hal ihwal hati dan akhlak.
· Ilmu pengantar (mukadimah) : Ilmu bahasa, dan gramatika.
· Ilmu pelengkap (mutammimah) : Ilmu Qiro’at, makharij al-huruf wa al- alafadz, Ilmu Tafsir, Nasikh dan Mansukh, lafadz umum dan khusus, lafaz nash dan zahir serta biografi dan sejarah perjuangan sahabat.[9]
b) Ilmu bukan syari’ah terdiri atas :
· Ilmu yang terpuji : Ilmu kedokteran, Ilmu berhitung, Ilmu perusahaan. Khusus mengenai Ilmu perusahaan dirinci menjadi :
Ø Pokok dan utama : pertanian, pertenunan, pembangunan dan data pemerintahan.
Ø Penunjang : pertukangan besi dan industri sandang.
Ø Pelengkap : pengolahan pangan, pertenunan ( jahit menjahit ).
· Ilmu yang diperbolehkan ( tak merugikan ) : kebudayaan, sastra, sejarah dan puisi.
· Ilmu yang tercela ( merugikan ) : Ilmu tenung, sihir dan bagian-bagian tertentu dari filsafat.
6. Metode Pendidikan
Dalam hal yang berhubungan dengan metode pendidikan, al-Ghozali menekankan pentingnya bimbingan dan pembiasaan. Dalam hal menerapkan metode tersebut al-Ghozali menyarankan agar tujuan utama dari tingkat kecerdasan, bakat dan pembawaan anak serta tujuannya tidak dilepaskan dari hubungannya dengan nilai manfaat.[10]
C. Pandangan Al-Ghazali Tentang Ganjaran dan Hukuman
Al-Ghozali termasuk orang yang tidak menyetujui penggunaan hukuman karena akan menjadikan anak menganggap remeh terhadap celaan dan perbuatan serta menjadikan hatinya tidak lagi mempan dinasehati dengan perkataan. Menurut pandangan al-Ghozali, jika anak biasa berbuat tindakan buruk maka hendaknya dihukum secara diam-diam.
Bila guru ingin mencegah anak berbuat buruk sebaiknya dilakukan dengan persuasif dan kekeluargaan serta bukan secara langsung menegurnya dengan keras atau kasar (metode tasrich). Menurut Al-Ghozali: “dengan menegur secara kasar atau keras akan menyingkapkan rasa takut dan menimbulkan keberanian menyerang orang lain dan mendorong timbulnya keinginan untuk tetap melakukan pelanggaran.
Menurut beliau, hendaknya para pendidik memberikan dorongan kepada anak dengan pujian dan penghargaan jika anak melakukan perbuatan yang baik. Serta mendorong keberanian di depan orang yang berpangkat dan menduduki posisi terhormat.[11]
1. Ganjaran Atau Hadiah.
Ganjaran atau hadiah menjadi salah satu alat pendidikan yang diberikan kepada peserta didik sebagai imbalan atas prestasi atau tugas yang tela ia selesaikan dengan baik sehingga hasil yang diharapkan oleh pendidik tercapai. Dalam hal ini al-Ghozali menjelaskan sebagai berikut:
“ kemudian sewaktu-waktu pada si anak telah nyata budi pekerti yang baikdan perbuatan yang terpuji maka seyoyanya ia dihargai, dibalas dengan sesuatu yang menggembirakan dan dipuji dihadapan orang banyak (diberi hadiah)”. Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa menurut al-Ghozali ada tiga macam ganjaran yang diberikan kepada peserta didik, yaitu:
“ kemudian sewaktu-waktu pada si anak telah nyata budi pekerti yang baikdan perbuatan yang terpuji maka seyoyanya ia dihargai, dibalas dengan sesuatu yang menggembirakan dan dipuji dihadapan orang banyak (diberi hadiah)”. Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa menurut al-Ghozali ada tiga macam ganjaran yang diberikan kepada peserta didik, yaitu:
a. Penghormatan (penghargaan), baik menggunakan kat-kata maupun isyarat.
Adapun yang dimaksud dengan penghormatan lewat kata-kata, misalnya, ucapan baik, bagus sekali, pintar, dan kata-kata lain yang mengandung makna penghormatan. Selanjutnya, penghormatan dengan cara isyarat, bisa seperti, menganggukkan kepala, mengacungkan jempol, tepuk tangan, menepuk bahu dan lain-lain.
Adapun yang dimaksud dengan penghormatan lewat kata-kata, misalnya, ucapan baik, bagus sekali, pintar, dan kata-kata lain yang mengandung makna penghormatan. Selanjutnya, penghormatan dengan cara isyarat, bisa seperti, menganggukkan kepala, mengacungkan jempol, tepuk tangan, menepuk bahu dan lain-lain.
b. Hadiah, yaitu ganjaran yang berupa pemberian sesuatu/ materi yang bertujuan untuk menggembirakan hati anak. Hadih tidak perlu berupa barang yang mahal harganya yang penting pantas saja. Sebaiknya hadiah jangan terlalu sering diberikan, dan hanya melihat kondisi yang pantas saja, misalnya pada anak yang orang tuanya kurang mampu tapi berprestasi.
c. Pujian di hadapan orang banyak. Hadiah yang berupa pujian ini dapat diiberikan dihadapan teman-teman sekelas satu sekolahan ataupun di hadapan teman-teman dan orang tua/wali murid, seperti pada waktu penerimaan rapor atau kenaikan kelas. Pada dasarnya, secara didaktis, ganjaran/hadiah ataupun beserta segala macamnya yang dibahas oleh al-Ghozali tersebut, telah menjadi acuan dan anutan oleh pakar ahli pendidikan. Bahkan menurut istilah didaktik, hadiah sebagai “fungsi reinforcement” atau fungsi penguatan yang akan lebih mendorong peserta didik untuk lebih giat dan meningkatkan prestasi yang pernah ia capai.
2. Hukuman.
Hukuman ialah suatu perbuatan sadar dan sengaja menjatuhkan nestapa pada orang lain dengan tujuan untuk memperbaiki atau melindungi dirinya sendiri dari kelemahan jasmani dan rohani,sehingga terhindar dari segala macam pelanggaran.
Dalam hal ini al-Ghazali tidak sependapat dengan orang tua dan pendidik yang dengan cepat-cepat sekaligus memberi hukuman terhadap anak-anak yang berlaku salah dan melanggar peraturan. Hukuman adalah hukuman yang paling akhir apabila teguran, peringatan, dan nasihat-nasihat belum bisa mencegah anak melakukan pelaggaran.
Demikian itu harus melalui proses untuk memberi hukuman yang secara terinci
dijelaskan oleh al-Ghazali: “kalau anak itu satu kali menyimpang dari budi dan perbuatan baik tersebut dalam satu keadaan, maka sebaiknya orang tua pura-pura lupa dari hal itu dan tidak membuka rahasianya, tidak menjelaskan sianak bahwa tergambarlah keberanian orang lain untuk melakukan perbuatan seperti itu. Sianak itu itu sendiri akan menutup rahasia dirinya dengan sungguh-sungguh, sebab membuka rahasia yang demikian, mungkin menyebabkan ia berani (berbuat lagi) sampai ia tidak dipedulikan lagi biarpun dibukakan rahasianya”.
Demikian itu harus melalui proses untuk memberi hukuman yang secara terinci
dijelaskan oleh al-Ghazali: “kalau anak itu satu kali menyimpang dari budi dan perbuatan baik tersebut dalam satu keadaan, maka sebaiknya orang tua pura-pura lupa dari hal itu dan tidak membuka rahasianya, tidak menjelaskan sianak bahwa tergambarlah keberanian orang lain untuk melakukan perbuatan seperti itu. Sianak itu itu sendiri akan menutup rahasia dirinya dengan sungguh-sungguh, sebab membuka rahasia yang demikian, mungkin menyebabkan ia berani (berbuat lagi) sampai ia tidak dipedulikan lagi biarpun dibukakan rahasianya”.
Pada tahap pertama, anak diberi kesempatan untuk memperbaiki sendiri kesalahannya, sehingga ia mempunyai rasa kepercayaan terhadap dirinya kemudian ia merasakan akibat perbuatannya tersebut. Akhirnya ia sadar dan insaf terhadap kesalahannya dan berjanji dalam hatinya tidak akan mengulangi kesalahannya. Apabila dalam tahap pertama ini belum berhasil maka dilanjutkan tahap yang kedua, yaitu berupa teguran, peringatan dan nasihat-nasiahat sebagaimana penjelasan al-Ghazali. “maka dalam tindakan yang demikian kalau sianak masih kembali lagi berbuat tidak baik untuk kedua kalinya, maka sebaiknya ia tegur dengan sembunyi dan persoalan itu dianggap besar (akibatnya) terhadap anak itu. Kepadanya dikatakan awas setelah ini engkau jangan berbuat sepertti ini lagi ya, kalau sampai ketahuan engkau berbuat demikian, rahasiamu akan diberitahukan kepada orang banyak. Selanjutnyya setiap kali orang tua menegur anak, janganlah anyak bicara dengan hal ini, sebab banyak bicara disini akan menyebabkan sianak enteng mendengar celaan, menganggap mudah melakukan kejahatan-kejahatan dan perkataan (nasihat) itu tidak meresap dalam hati si anak”.
Pada tahap yang kedua ini apabila masih belum berhasil, maka al-Ghozali memperbolehkan untuk memberikan hukuman kepada anak-anak dengan cara yang seringan-ringannya dan tidak terlalu menyakitkan badannya.[12]
D. Kurikulum Pendidikan Anak
Al-Ghozali menetapkan kurikulum yang berisi pendidikan yang mencakup tiga segi yaitu : jasmaniyyah, ‘aqliyyah dan akhlaqiyyah serta asas-asas dan prinsip-prinsip yang dipakai untuk mendidik anak. Secara garis besar, kurikulum pendidikan anak dapat diuraikan sebgai berikut :
1. Pendidikan anak dimulai sejak lahir
Al-Ghozali menganjurkan agar anak sejak dini. Beliau mengatakan “ Sesungguhnya jika diabaikan pada periode awal pertumbuhan maka ia akan mudah dikalahkan oleh keburukan akhlak, banyak menuntut sesuatu dan lain-lain.
2. Disiplin pribadi merupakan asas dari pendidikan anak
Hendaknya para pedidik mengikuti sistem pendidikan berdasarkan atas kaidah membiasakan anak dengan berdisiplin pada waktu makan, berpakaian dan tidurnya. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan jasmaniyyah anak agar kuat dan menanggung kesulitan hidupnya.
3. Bahan-bahan yang diajarkan dalam kuttab-kuttab untuk mendidik akal
Terdiri dari :
a. Al-Quranulkarim
b. Hadits-hadits tentang cerita atau hikayat orang-orang baik (sholeh) agar anak mencintai orang sholeh sejak kecil
c. Memberikan hafalan dan syair-syair yang menyentuh perasaan rindu dan antusias anak terhadap nilai pendidikan
4. Pendidikan jasmani
Hendaknya anak dididik dengan pendidikan jasmani agar tidak malas. al-Ghozali secara khusus memperhatikan pendidikan jasmani karena dapat memperkuat jasmani serta menumbuhkan kecekatan dan kegairahan hidup. Menurut pendapat beliau, anak sebaiknya diizinkan untuk bebas bermain setelah pulang sekolah. Melarang anak bermain dan mengekang terus belajar akan mematikan hati dan menghilangkan kecerdasan serta mempersulit kehidupannya.
5. Pendidikan Akhlak
a. Hendaknya anak dibiasakan dalam perilaku akhlak yang terpuji dan perbuatan yang baik serta dijauhkan dari perbuatan yang buruk dan rendah.
b. Hendaknya akhlak baik dan perbuatan baik anak didorong untuk berkembang dan selalu dimotifasi untuk berani berbuat baik dan berakhlak mulia.
c. Jangan mengobral celaan terhadap anak dan hendak membuatnya jera berbuat kesalahan.[13]
E. Relevansi Pandangan Al-Ghazali Bagi Kebutuhan Pengembangan Pendidikan Islam
Patut dibenarkan apa yang dikatakan ismail razi al-Faruqi bahwa inti masalah yang dihadapi umat Islam dewasa ini adalah masalah pendidikan dan tugas terberatnya adalah memecahkan masalah tersebut.
Keberhasilan dan kegagalan suatu proses pendidikan secara umum dapat dilihat dari outputnya, yakni orang-orang yang menjadi produk pendidikan. Apabila sebuah proses pendidikan menghasilkan orang-orang yang bertanggungjawab atas tugas-tugas kemanusiaan dan tugasnya kepada Tuhan, bertindak lebih bermanfaat baik bagi dirinya maupun bagi orang lain, pendidikan tersebut dapat dikatakan berhasil. Sebaliknya, bila outputnya adalah orang-orang yang tidak mampu melaksanakan tugas hidupnya, pendidikan tersebut dianggap gagal.
Ciri-ciri utama dari kegagalan proses pendidikan ialah manusi-manusia produk-produk pendidikan itu lebih cenderung mencari kerja dari pada menciptakan la[pangan kerja sendiri. Kondisi demikian terlihat dewasa ini, sehingga lahir berbagai budaya yang tidak sehat bagi masyarakat luas. Diberbagai media masa telah banyak diungkapkan mengenai rendahnya mutu pendidikan nasional kita. Keadaan ini mengundang para cendekiawan mengadakan penelitian yang berkaitan dengan mutu pendidikan. Berbicara mengenai mutu pendidikan masalahnya menjadi sangat komplek. Oleh karena itu dapat disadari bahwa peningkatan mutu pendidikan tidak dapat lepas dari proses perubahan siswa didalam dirinya. Perubahan yang dimaksud mencakup dalam pengetahuan, sikap dan psikomotorik.
Berangkat dari kondisi pendidikan kita, seperti telah dikemukakan di atas, tampak pemikiran al-Ghazali sangat relevan untuk dicoba diterapkan di Indonesia, yang secara gamblang menawarkan pendidikan akhlak yang paling diutamakan . untuk lebih jelasnya, sumbangan pemikiran al-Ghazali bagi pengembangan dunia pendidika Islam khususnya dan pendidikan pada umumnya. Dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Tujuan pendidikan
Dari hasil studi terhadap pemikiran al-Ghazali, diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan yaitu:
a. Tercapainya kesempurnaan insane yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah
b. Kesempurnaan insane yang bermuara pada kebahagiaan dunia akhirat
Pendapat al-Ghazali tersebut disamping bercorak religius yang merupakan cirri spesifik pendidikan Islam, cenderung untuk membangun aspek sufistik. Manusia akan sampai kepada tingkat kesempurnaan itu hanya dengan menguasai sifat keutamaan melalui jalur ilmu. Dengan demikian, modal kebahagiaan dunia dan akhirat itu tidak lain adalah ilmu.
Secara implisit, al-Ghazali menekankan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk insan yang paripurna, yakni insan yang tahu kewajibannya, baik sebagai hamba Allah, maupun sebagai sesama manusia.
Dalam sudut pandang ilmu pendidikan Islam, aspek pendidikan akal ini harus mendapat perhatian serius. Hal ini dimaksudkan untuk melatih dan pendidikan akal manusia agar berfikir dengan baik sesuai dengan petunjuk Allah dan Rosul-Nya. Adapun mengenai pendidiakn hati seperti dikemukakan al-Ghazali merupakan suatu keharusan hagi setiap insan.
Dengan demikian, keberadaan pendidikan bagi manusia yang meliputi berbagai aspeknya mutlak diperlukan bagi kesempurnaan hidup manusia adalam upaya membentuk mausia paripurna, berbahagia didunia dan akhirat kelak. Hal imni berarti bahwa tujuan yang telah ditetapkan oleh imam al-Ghazali memiliki koherensi yang dominan dengan upaya pendiidkan yang melibatkan pembentukan seluruh aspek pribadi manusia secara utuh.
2. Materi pendidikan Islam
Imam ai-Ghazali telah mengklasifikasikan materi (ilmu) dan menyusunnya sesuai dengan dengan kebutuhan anak didik juga sesuai dengan nilai yang diberikan kepadanya. Dengan mempelajari kurikulum tersebut, jelaslah bahwa ini merupakan kurikulum atau materi yang bersifat universal yang dapat dipergunakan untuk segala jenjang pendidikan. Hanya saja al-Ghazali tidak merincinya sesuai dengan jenjang dan tingkatan anak didik.
Yang menarik adalah hingga hari ini pendidikan Islam di negara kita masih jauh terbelakang, dalam arti bahwa pendiidkan Islam hari ini masih membedakan antara ilmu agama (Islam) dan ilmu umum. Corak pembidangan ilmu itu ternyata berimbas pada orientasi pendirian lembaga pendidikan Islam. Misalnya setingkat IAIN saja, tercermin bahwa ilmu yang dipelajari ternyata hanya terbatas di seputas ilmu agama Islam saja dalam arti sesempit-sempitnya. Sementara pandangan al-Ghazali pada lebih dari seribu tahun yang lalu tidak membedakan pembidangan ilmu semacam ini di Indonesia pada khususnya dan didunia Islam pada umumnya.
Untuk menghilangkan kesan dikotomi ilmu, dewasa ini lembaga pendiidkan tinggi Islam milik pemerintah seperti IAIN meningkatkan lembaganya ketingkat lebih tinggi yakni ketimhkat universitas seperti munculnya UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, UIN Bandung Dan sebagainya.
Jadi relevansi pandangan al-Ghazali dengan kebutuhan pengembangan dunia pendidikan Islam dewasa ini sangan bertautan dengan tuntutan saat ini, baik dalam pengertian spesifik maupun secara umum. Secara spesifik misalnya pengembangan studi akhlak tampak diperlukan dewasa ini. Sangat disanyangkan, materi ini telah hilang dilembaga-lembaga pendiidkan. Jangankan disekolah yang berlabel umum, disekolah yang berlambang Islam saja bidang studi yang satu ini sudah tidak ada.
Dengan demikian pula secara umum, pandangan al-Ghazali tentang pendidikan Islam tampak perlu dicermati. Keutuhan pandangan al-Ghazali tentang Islam misalnya tampak tidak dikotomi seperti sekarang ini, ada ilmu agama dan ilmu umum, sehingga dari segi kualitas intelektual secara umum umat Islam jauh tertinggal dari umat yang lain. Hal ini barang kali merupakan salah satu akibat sempitnya pandangan umat terhadap ilmu pengetahuan yang dikotomi seperti itu.
3. Metode pendidikan Islam
Pandangan al-Ghazali secara spesifik berbicara tentang metode barang kali tidak ditemukan namun secara umum ditemukan dalam karya-karyanya. Metode pendidikan agama menurut Al-Ghazali pada prinsipnya dimulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran setelah itu penegakkan dalil-dalil dan keterangan yang menunjang penguatan akidah
Pendidikan agama kenyataanya lebih sulit dibandingkan dengan pendidikan lainnya karena, pendidikan agama menyangkut masalah perasaan dan menitik beratkan pada pembentukan kepribadian murid. Oleh karena itu usaha al-Ghazali untuk menerapkan konsep pendidikannya dalam bidang agama dengan menanamkan akidah sedini mungkin dinilai tepat. Menurut al-Ghazali bahwa kebenaran akal atau rasio bersufat sempurna maka agama, bagi murid dijadikan pembimbing akal.
Dari uraian singkat diatas dapat dipahami bahwa makna sebenarnya dari metode pendidikan lebih luas daripada apa yang telah dikemukakan diatas. Aplikasi metode pendidikan secara tepat guna tidak hanya dilakukan pada saat berlangsungnya proses pendidikan saja, melainkan lebih dari itu, membina dan melatih fisik dan psikis guru itu sendiri sebagai pelaksana dari penggunaan metode pendidikan.
Nana Sudjana dan Daeng Arifin mengemukakan bahwa proses kependidikan akan terjalin dengan baik manakala antara pendidik dan anak didik terjalin interaksi yang komunikatif.
Dengan demikian prinsip-prinsip penggunaan yang tepat sebagaimana diungkapkan oleh imam al-Ghazali memiliki relevansi dan koherensi dengan pemikiran nilai-nilai pendidikan kontemporer pada masa kini. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai kependidikan yang digunakan oleh imam al-Ghazali dapat diterapkan dalam dunia pendidikan dalam dunia global.[14]
BAB III
PENUTUP
Dari pemaparan makalah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali. Beliau lahir di Ghazaleh tahun 450 H (1059 M) dan wafat di Tabristan pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H/1 Desember 1111 M.
Al-Ghazali memandang pendidikan adalah sebuah proses mendapatkan ilmu, dimana hasil ilmu itu adalah mendekatkan diri kepada Tuhan semesta alam. Pemikiran al-Ghazali mengenai pendidikan tersebut didasari dari pandangan bahwa segala aktivitas di dunia adalah untuk menghantarkan kebahagiaan di akhirat, karena tujuan hidup di dunia adalah untuk beribadah kepada Tuhan.
Jadi, konsep pendidikan al-Ghazali ditujukan untuk tujuan mendekatkan diri kepada Tuhan, sebagaimana tugas dan tujuan hidup manusia yaitu mewujudkan tatanan kehidupan dunia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Daftar Pustaka
Al-Jumbulati, Ali dan Abdul Futuh At-Tuwaanisi. 2002. Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Jalaludin dan Usman Said. 1999. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Kurniawan, Syamsul dan Erwin Mahrus. 2011. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Yohyakarta: Ar-Ruz Media.
Nata, Abudin. 1997. Filsafat Pendidikan Islam 1. Jakarta: Logos Kencana Ilmu.
Rusn, Abidin Ibnu. 1998. Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Zuhri, Amat. 2010. Ilmu Tasawuf. Pekalongan: STAIN Press.
http://gogon.wordpress.com/2010/01/03/pemikiran-al-ghazali-tentang-pendidikan-islam/
http://munzaro.blogspot.com/2010/10/knsep-pendidikan-islam-menurut-al.html
[1] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Ar-Ruz media, 2011), hlm. 87
[2] Amat zuhri, Ilmu Tasawuf, (Pekalongan : STAIN Press, 2010), hlm. 87-88
[3] Ibid, hlm. 89
[4] Jalaluddin dan Usman said, Filsafat pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 139
[5] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 161-162
[6] Ali Al-Jumbulati dkk, Perbandingan Pendidikan islam, Penerjemah H. M. Arifin, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2002), hlm. 134-135
[7] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghozali Tentang Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 56-60
[8] Abudin Nata, op.cit, hlm. 163-166
[9] Jalaludin dan Usman said, opcit, hlm. 140-142
[10] Ibid, hlm. 143
[11] Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh At-tuwaanisi, op.cit., hlm. 145-146
[12] http://munzaro.blogspot.com/2010/10/knsep-pendidikan-islam-menurut-al.html
[13] Ibid, hlm. 148-153
[14] http://gogon.wordpress.com/2010/01/03/pemikiran-al-ghazali-tentang-pendidikan-islam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar